Sa’at futhur menghampiriku
Aku khilaf memperturutkan bujukan, tersesat
Tersesat kian jauh, kian dalam
Membuatku kesulitan untuk keluar dari lembah tak bernama ini
Kudengar, semua sahabatku memanggil-manggil
Ada yang berteriak, berjalan menujuku
Dan ada yang berlari meskipun sesekali terjatuh
Menggenggam tanganku sekuat-kuatnya
Menarikku dari semua keterpurukan ini
Tiba-tiba aku tersadar, menoleh pada mereka, sahabat-sahabatku
Tapi hatiku kosong, seperti kamar kosong, pengap, dan gelap
Hampa...
dan
Mati rasa...
Aku menyentakkan tanganku, lepas dari mereka
Bodoh...
Salah, memang salah kulakukan itu
Melepas penolong-penolongku, peri-peri kecil
Peri kecil yang selama ini memapahku, yang senantiasa tertatih
Hingga kurasakan jarak di antara kami semakin menjauh
Kulihat jalan yang begitu panjang, memisahkanku dari mereka
Namun jarak itu tak membuatku buta melihat sebuah duka
Duka, kekecewaan yang mungkin telah kubuat
Mereka menangis, pastilah iba padaku
Aku kian dekat dengan bibir jurang
Aku merasa melayang, terbang
Ada orang-orang aneh disekitarku
Mereka tertawa, mengelilingiku seperti peri-peri kecil
Memegangi tanganku, mengajakku ikut tertawa dan terbang
Ikut terbawa bersama mereka
Sesekali bercengkrama, hanya saja nuraniku menolak
“Ada apa?” gumamku dalam keramaian kota peri pagi itu
Ya, hari massih pagi, baru saja Subuh
Kujelajahi kota peri ini
Keramaian, memang menyenangkan
Tapi membuat kacau saat terlalu ramai dan ribut
“Biarlah.” pikirku saat itu
“Mengapa tak kunikmati saja?”
“Kapan lagi aku akan berkunjung ke kota ini?”
Kota aneh, kota peri yang senantiasa gelap, kurasa
Karena matahari belum juga tertawa
Padahal sudah pukul sembilan pagi
“Pukul sembilan?” tanyaku
Kubuat diriku percaya dengan melirik jam tanganku
Ada yang berbeda, kurasa
Dahulu, pukul sembilan aku berada di sebuah tempat yang terang
Tidak seperti pagi ini
Tiba-tiba perasaan aneh menyergapku
Memborgol tangan-tangan peri yang suka terang dan ketenangan
Sebuah kalimat menyelinap diantara hampaku
“Lihatlah ke belakangmu!”
Tapi peri-peri aneh itu melarangku,
Menggodaku, tawa mereka, suara mereka, sungguh membuatku hanyut
“Tapi apa salahnya ku menoleh.?” pikirku
Benderang, ramai namun tak kacau
Ada senyuman, uluran tangan, rangkulan
Peri-peri kecil,
Melambai padaku, mengepakkan sayap-sayap putih
Sayap putih yang mengeluarkan cahaya berpendar
Indah, melebihi indahnya pelangi
Tinggi, melebihi tingginya Fujiyama
Berwarna, melebihi warna sakura yang menggoda
Semua itu membuatku tertarik
Membangunkan tidurku
Menggelitik amnesiaku yang aneh
Membuatku teringat akan suatu hari yang penuh dengan bunga
Kupu-kupu,
Kulihat diriku ada di antara orang-orang yang bercengkrama di tempat itu
Amnesiaku kian terusik
Membolak-balik kenangan masa lalu
Yang kutinggalkan karena peri-peri di kota gelap
“Dsssh...” semilir angin melewati hatiku
Mengisi sel-sel penjara yang hampa di relung jiwaku
Membuka jendela-jendela yang ku kunci kemarin
Sebersit sinar menerangi hatiku, memberiku kehidupan...
Tenang dan damai
Perasaan yang sudah lama hilang
Agaknya mereka takut singgah padaku akhir-akhir ini
Atau mungkin sakit hati karena, tadi malam aku mengusirnya
Kulihat lagi peri-peri di kota benderang,
Mereka melambai dan mengulurkan tangan padaku
Semakin dekat, “Sahabat, kaliankah itu?”
Inginku menggapai tangan halus mereka
Meminta maaf pada KETENANGAN dan KEDAMAIAN
Semoga saja mereka menerima maafku
Tapi, tanganku kram...kaku, tak bisa kugerakkan
Seorang peri kecil di kota gelap, menatapku lekat
Hinggap di ujung jariku, terbang ke bahuku, menari di hadapanku
Kulihat matanya berkaca-kaca, ia berkata
“Tinggallah lebih lama disini, aku takut sendiri!”
“Jika kau ingin pergi, ajaklah aku, bawalah aku, angkat aku dari semua keterpurukan ini, aku mohon!” isaknya
“Teng...teng...”
Pukul sebelas
Kota peri gelap sepi, “Kemana mereka?” tanyaku
Tinggallah aku bersama peri kecil yang sedang terisak
Ia berkata lagi, “Aku ingin ikut bersamamu, tapi aku butuh waktu untuk menaiki tangga ke luar jurang, aku sudah terlanjur terpuruk dalam, dalam sekali, jemputlah aku kebawah sini!”
Tes...tes...tes...air matanya mengalir deras
Aku bingung, kota benderang menungguku
Kota peri kecil yang tenang dan damai
Tapi bagaimana dengan peri yang tersesat ini
Ups...aku mulai meragukan ucapannya
Apakah dia tulus atau malah ingin membuatku bertambah terpuruk lagi
Sekarang aku berada satu meter dari bibir jurang
Seorang peri kecil di kota gelap teriak di hadapanku
Tatapannya membuatku luluh lantak
Tapi disana, peri-peri dengan sayap putih bersiap menyambutku
Berpesta untuk kedatanganku
Dan ku tau pasti, aku akan tenang disana, tak ada keraguan
Disanalah kota peri yang benderang dan abadi
Tapi, bagaimana dengannya?
Akankah aku turun, masuk, menjempunya
Membawanya bersamaku, pergi ke kota abadi
Ataukah akan kutinggalkan dia disana
Karena aku ragu, jujurkah dia?
Benarkah dia ingin ikut denganku?
Tegakah aku meninggalkannya,
Tenggelam di kota gelap
Larut dalam kacau, terombang-ambing di gelombang keramaian
Aku ragu?
Sahabat, apa yang harus kuperbuat?
Ya Allah, rangkul aku lagi ya Allah...
Aku tak kuat berada disini, terpisah denganMu karena jarak
Terlebih lagi,aku mulai tersadar
Ada beberapa orang yang dulu menemaniku ke tempatMu bertanya tentangku, “Pantaskah aku, seorang peri yang tinggal di kota benderang, pergi ke bermain ke kota gelap, menjenguk seorang peri kecil yang katanya tersesat?”
Ya Allah, apakah sudah semakin sulit untukku berbalik,
Kembali berjalan pada Mu,
Sudah jauhkah jarak yang kubuat?
Sehingga ada sahabatku yang bertanya seperti itu
Ya Allah, tak ada yang mustahil bagi Mu
Kakiku sangat kecil dan lemah
Aku takut tersesat sebelum sampai di tempat Mu
Hilangkanlah jarak ini ya Allah
Bantu hamba berlari ya Allah
Bantu hamba melepaskan borgol-borgol yang memisahkan hamba dari Mu, dari peri-peri kecil di kota benderang
Dan bantu “dia” ya Allah, peri kecil di kota gelap
Ya Allah, aku rindu pada Mu
Pada semua titipanMu yang sempat kuselewengkan
ҝђỠờζi
Wednesday, November 28, 2007, 6:25:28 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar